Jumat, 09 Januari 2015

Eksplor Baduy #2: Perjalanan Awal

2 Januari 2015
Angin subuh menyapa sementara matahari masih bersembunyi di kandangnya. Gw, Novia, dan Nuy memutuskan untuk naik kereta dari Bogor menuju Tanah Abang jam 05.16, jam 05.00 menjadi jam janjian kita di stasiun. Sekitar 1,5 jam menuju lokasi titik temu dengan Kompas Khatulistiwa (Komwa), stasiun Tanah Abang. Alhamdulillah selama perjalanan di kereta kita dapet tempat duduk dan bisa tidur lagi, bayar utang tidur yang belum lunas.

Di stasiun Tanah Abang matahari mulai menunjukkan gaungnya. Nadiah dan Kak Maya udah nyampe duluan dari kita. Gak lama Noval dateng. Gak lama Akbar dateng. Duduk-duduk nunggu di deket tempat ngecharge, kita udah curiga kayaknya orang-orang yang ngegerombol di sebrang kita itu rombongan Komwa juga. Berkat canggihnya teknologi, di group Whatsapp ada yang bilang "Udah sampe nih, gw yang make jaket ungu". Ternyata jaket ungu itu adalah Acil, dan rombongan itu adalah Geng Grogol.

Singkat cerita, kita naik kereta menuju stasiun Rangkas Bitung lalu naik semacam mobil van untuk sampai ke Ciboleger.

Tips: Selalu bawa KTP kalo berpergian! Ada beberapa orang yang gak bawa KTP dan akhirnya harus naik kereta lokal. Jadi mereka naik Commuter Line sampai stasiun Maja, abis itu dilanjutin naik kereta lokal ke stasiun Rangkas Bitung. Dan kereta lokal is totally no karena lebih pepes daripada Commuter Line disaat rush hour.

Mual berujung muntah.
Ya, gak kaget sih emang dasar gampang mual kalo naik kendaraan jauh dan tergantung supirnya kayak gimana. Pokoknya buat yang gampang mual, jangan lupa minum antimo! Di perjalanan ke Ciboleger gw gak minum antimo karena males ngambil di tas yang udah keburu ditaro di atas mobil. Salah sendiri.

*****************

Ciboleger menjadi titik terakhir kita menemui berbagai perpanjangan kaki. Dari sini, kaki menjadi satu-satunya alat mobilitas.

Cibologer menyambut kita dengan hujan. Buru-buru lari ke semacam tempat makan. Disitu kita makan, sholat, dan siap-siap untuk tracking ke Baduy luar. Menarik, selain bisa liat orang Baduy luar yang khas dengan warna birunya, disini juga udah bisa liat beberapa orang Baduy dalam yang lagi keluar, lengkap dengan kostum hitam putih, sepasang warna yang orang Baduy dalam boleh pakai. 





Tik... Tik....
Tik.......Tik.......Tik....

Hujan mengakibatkan jalanan jadi licin, untungnya disini kita bisa beli tongkat yang terbuat dari kayu, cukup mengeluarkan uang Rp 3000 aja. Tongkat ini bagai tongkat ibu peri yang selalu membantu melewati jalan-jalan yang licin, tanjakan maut, dan menjadi alat pegangan.






Orang Baduy hidup tidak dikejar waktu. Mereka tidak mengenal deadline. Mereka hidup dalam kesederhanaan. Selama disini gw juga gak terlalu ngecek jam dan waktu, jadi gak terlalu sadar di jam berapa sedang melakukan apa. Perjalanan dari Cibologer ke Baduy luar sendiri memakan waktu 45 menit, mayoritas jalanannya berbentuk turunan. Sebagai amatiran, gw cukup capek. Padahal belum seberapa.....

Kita menginap semalam di Baduy luar, di rumah keluarga Mul. Di Baduy luar ini kita masih bisa menemukan kamar mandi, tapi jangan ngebayangin kayak kamar mandi di perkotaan ya. Baduy luar adat dan aturannya tidak seketat Baduy dalam. Disini, mereka udah diperbolehkan menggunakan hp, listrik, sabun, dan bahan kimia lainnya. Menikahnya pun tidak dijodohkan. Untuk turis atau tamu kayak gw, hal yang menguntungkan adalah di Baduy luar diperbolehkan untuk mengambil foto.

Hujan rindu pada alam, ia datang dan tak mau pergi.
Air yang terus mengguyur selama di Baduy luar membuat gak terlalu banyak kegiatan yang bisa dilakuin. Beberapa pedagang datang ke rumah yang kita tinggali untuk menjajakan oleh-oleh berbau Baduy.





Bosan, akhirnya memutuskan untuk jalan keliling-keliling bersama beberapa teman, mumpung hujannya lagi ramah, gerimis doang. Baru jalan sedikit, ada warga Baduy yang tersenyum ramah dari rumahnya. Dari gerak-geriknya, warga Baduy tersebut keliatan terbuka dan enak diajak ngobrol. Akhirnya minta izin untuk mampir dan ngobrol-ngobrol.

Warga Baduy tersebut bernama Sardi, Pak Sardi atau Kang Sardi bisa menjadi sebutannya. Pak Sardi ternyata adalah warga Baduy dalam yang lagi menjenguk saudaranya yang tinggal di Baduy luar. Pak Sardi adalah orang Baduy yang pertama kali gw ajak ngobrol. Hal itu merupakan keberuntungan, soalnya Pak Sardi baik banget, beliau juga punya banyak cerita soal pengalamannya menjadi warga Baduy dalam yang udah sering ke luar Baduy, ke Jakarta, Bandung, Bogor misalnya. Bahkan, baru-baru ini Pak Sardi abis pergi ke Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI untuk menjadi pengisi dalam diskusi mengenai budaya. Obrolan dengan Pak Sardi begitu menarik sampe gw berniat untuk menuliskan post sendiri mengenai Pak Sardi. Ngefans deh sama Pak Sardi!

Matahari pamit dari ufuk barat. Tidak ada listrik mengakibatkan kegiatan diisi dengan ngobrol, ngobrol, dan ngobrol. Dengerin Kak Indah cerita soal pekerjaannya sebagai film maker, ngobrol tentang homoseksual, ngobrolin apa aja yang bisa diobrolin. Malam datang, perut pejalan kaki ini udah kruyuk kruyuk kelaparan. Menu pertama di Baduy: Nasi goreng!

Makan, kenyang, ngantuk. Entah jam berapa. Obrolan dilanjutkan dengan dongeng-dongeng sejarah dari Kak Indra yang sukses jadi dongeng pengantar tidur. Seru tapi bikin ngantuk, mungkin efek kenyang dan suasana Baduy yang bebas polusi suara.

Malam pertama di Baduy berakhir tanpa melihat kunang-kunang.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Cerita yg sangat menarik sekali. Org baduy yg tanpa deadline atau juga dibilang sbg 'patokan hidup' menjadi konsep kesejahteraan subjektif atau kebahagiaan tersendiri bagi mereka. Krn org kota dan para ahli kadang sok tau dgn membuat objektivikasi mengenai kelayakan hidup seseorang sehingga org pedalaman di blg tdk tdk layak kondisinya.

Satria baja hitam

Milikilah hati yang luas seluas langit biru. Di dalam hati yang luas kamu akan menampung rasa memaafkan yang besar, kekuatan untuk berpikir dan bertindak positif, serta semangat untuk menjelang hari esok yang tidak pernah pudar. Jadilah langit itu
-Seluas Langit Biru, Sitta Karina

Why?

Foto saya
Nabila Nur Sabrina. Bila. Ilmu Komunikasi UI 2013. Menulis karena memori otak tak bertahan selamanya.

Supportive Army

Jumat, 09 Januari 2015

Eksplor Baduy #2: Perjalanan Awal

2 Januari 2015
Angin subuh menyapa sementara matahari masih bersembunyi di kandangnya. Gw, Novia, dan Nuy memutuskan untuk naik kereta dari Bogor menuju Tanah Abang jam 05.16, jam 05.00 menjadi jam janjian kita di stasiun. Sekitar 1,5 jam menuju lokasi titik temu dengan Kompas Khatulistiwa (Komwa), stasiun Tanah Abang. Alhamdulillah selama perjalanan di kereta kita dapet tempat duduk dan bisa tidur lagi, bayar utang tidur yang belum lunas.

Di stasiun Tanah Abang matahari mulai menunjukkan gaungnya. Nadiah dan Kak Maya udah nyampe duluan dari kita. Gak lama Noval dateng. Gak lama Akbar dateng. Duduk-duduk nunggu di deket tempat ngecharge, kita udah curiga kayaknya orang-orang yang ngegerombol di sebrang kita itu rombongan Komwa juga. Berkat canggihnya teknologi, di group Whatsapp ada yang bilang "Udah sampe nih, gw yang make jaket ungu". Ternyata jaket ungu itu adalah Acil, dan rombongan itu adalah Geng Grogol.

Singkat cerita, kita naik kereta menuju stasiun Rangkas Bitung lalu naik semacam mobil van untuk sampai ke Ciboleger.

Tips: Selalu bawa KTP kalo berpergian! Ada beberapa orang yang gak bawa KTP dan akhirnya harus naik kereta lokal. Jadi mereka naik Commuter Line sampai stasiun Maja, abis itu dilanjutin naik kereta lokal ke stasiun Rangkas Bitung. Dan kereta lokal is totally no karena lebih pepes daripada Commuter Line disaat rush hour.

Mual berujung muntah.
Ya, gak kaget sih emang dasar gampang mual kalo naik kendaraan jauh dan tergantung supirnya kayak gimana. Pokoknya buat yang gampang mual, jangan lupa minum antimo! Di perjalanan ke Ciboleger gw gak minum antimo karena males ngambil di tas yang udah keburu ditaro di atas mobil. Salah sendiri.

*****************

Ciboleger menjadi titik terakhir kita menemui berbagai perpanjangan kaki. Dari sini, kaki menjadi satu-satunya alat mobilitas.

Cibologer menyambut kita dengan hujan. Buru-buru lari ke semacam tempat makan. Disitu kita makan, sholat, dan siap-siap untuk tracking ke Baduy luar. Menarik, selain bisa liat orang Baduy luar yang khas dengan warna birunya, disini juga udah bisa liat beberapa orang Baduy dalam yang lagi keluar, lengkap dengan kostum hitam putih, sepasang warna yang orang Baduy dalam boleh pakai. 





Tik... Tik....
Tik.......Tik.......Tik....

Hujan mengakibatkan jalanan jadi licin, untungnya disini kita bisa beli tongkat yang terbuat dari kayu, cukup mengeluarkan uang Rp 3000 aja. Tongkat ini bagai tongkat ibu peri yang selalu membantu melewati jalan-jalan yang licin, tanjakan maut, dan menjadi alat pegangan.






Orang Baduy hidup tidak dikejar waktu. Mereka tidak mengenal deadline. Mereka hidup dalam kesederhanaan. Selama disini gw juga gak terlalu ngecek jam dan waktu, jadi gak terlalu sadar di jam berapa sedang melakukan apa. Perjalanan dari Cibologer ke Baduy luar sendiri memakan waktu 45 menit, mayoritas jalanannya berbentuk turunan. Sebagai amatiran, gw cukup capek. Padahal belum seberapa.....

Kita menginap semalam di Baduy luar, di rumah keluarga Mul. Di Baduy luar ini kita masih bisa menemukan kamar mandi, tapi jangan ngebayangin kayak kamar mandi di perkotaan ya. Baduy luar adat dan aturannya tidak seketat Baduy dalam. Disini, mereka udah diperbolehkan menggunakan hp, listrik, sabun, dan bahan kimia lainnya. Menikahnya pun tidak dijodohkan. Untuk turis atau tamu kayak gw, hal yang menguntungkan adalah di Baduy luar diperbolehkan untuk mengambil foto.

Hujan rindu pada alam, ia datang dan tak mau pergi.
Air yang terus mengguyur selama di Baduy luar membuat gak terlalu banyak kegiatan yang bisa dilakuin. Beberapa pedagang datang ke rumah yang kita tinggali untuk menjajakan oleh-oleh berbau Baduy.





Bosan, akhirnya memutuskan untuk jalan keliling-keliling bersama beberapa teman, mumpung hujannya lagi ramah, gerimis doang. Baru jalan sedikit, ada warga Baduy yang tersenyum ramah dari rumahnya. Dari gerak-geriknya, warga Baduy tersebut keliatan terbuka dan enak diajak ngobrol. Akhirnya minta izin untuk mampir dan ngobrol-ngobrol.

Warga Baduy tersebut bernama Sardi, Pak Sardi atau Kang Sardi bisa menjadi sebutannya. Pak Sardi ternyata adalah warga Baduy dalam yang lagi menjenguk saudaranya yang tinggal di Baduy luar. Pak Sardi adalah orang Baduy yang pertama kali gw ajak ngobrol. Hal itu merupakan keberuntungan, soalnya Pak Sardi baik banget, beliau juga punya banyak cerita soal pengalamannya menjadi warga Baduy dalam yang udah sering ke luar Baduy, ke Jakarta, Bandung, Bogor misalnya. Bahkan, baru-baru ini Pak Sardi abis pergi ke Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI untuk menjadi pengisi dalam diskusi mengenai budaya. Obrolan dengan Pak Sardi begitu menarik sampe gw berniat untuk menuliskan post sendiri mengenai Pak Sardi. Ngefans deh sama Pak Sardi!

Matahari pamit dari ufuk barat. Tidak ada listrik mengakibatkan kegiatan diisi dengan ngobrol, ngobrol, dan ngobrol. Dengerin Kak Indah cerita soal pekerjaannya sebagai film maker, ngobrol tentang homoseksual, ngobrolin apa aja yang bisa diobrolin. Malam datang, perut pejalan kaki ini udah kruyuk kruyuk kelaparan. Menu pertama di Baduy: Nasi goreng!

Makan, kenyang, ngantuk. Entah jam berapa. Obrolan dilanjutkan dengan dongeng-dongeng sejarah dari Kak Indra yang sukses jadi dongeng pengantar tidur. Seru tapi bikin ngantuk, mungkin efek kenyang dan suasana Baduy yang bebas polusi suara.

Malam pertama di Baduy berakhir tanpa melihat kunang-kunang.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Cerita yg sangat menarik sekali. Org baduy yg tanpa deadline atau juga dibilang sbg 'patokan hidup' menjadi konsep kesejahteraan subjektif atau kebahagiaan tersendiri bagi mereka. Krn org kota dan para ahli kadang sok tau dgn membuat objektivikasi mengenai kelayakan hidup seseorang sehingga org pedalaman di blg tdk tdk layak kondisinya.

Satria baja hitam

Pages