Minggu, 11 September 2016

Ternyata Aku Kangen Nulis #1

Memutuskan untuk menyebarkan tulisan-tulisan dulu yang cuma mengendap di laptop. Ini ditulis dulu, ditulis dengan otakku yang dulu, kalau ada yang salah-salah, dimaafin aja ya anggep aja lagi lebaran.

SURAT CINTA UNTUK IBU
Lonceng untuk Ibu


Bogor, 15 November 2014

            Assalamualaikum Wr. Wb
            Halo Ibu, apakah tepat jika aku mengucapkan selamat pagi? Atau lebih tepat selamat malam, selamat siang, atau selamat sore? Aku tak tahu Ibu. Aku percayakan suratku pada Pak Pos berbadan gembul yang terkejut ketika aku menuliskan alamat yang sama pada alamat penulis dan penerima surat. “Aneh banget kamu ngirim surat ke rumah sendiri!” Ujar Pak Pos seraya perutnya yang buncit bergoyang-goyang tak karuan.
            Ibu yang akan berulangtahun 2 Desember nanti. Apakah kau tahu bahwa saat aku kecil aku kesulitan membedakan 2 Desember dengan 22 Desember? Bagiku, keduanya adalah hari Ibu. Setiap tahun otakku berputar untuk mengingat tanggal ulangtahunmu. Aku takut salah memberi ucapan. Aku takut kelupaanku pada hari ulangtahunmu akan membuatmu tak menganggap aku sebagai anakmu lagi.
            Saat ini aku sudah beranjak dewasa Bu, aku sudah bisa membedakan 2 Desember dengan 22 Desember, umurku sudah 19 tahun. Ah, rasanya aku ingin melupakan angka itu! Tahun depan aku akan berkepala dua Bu, bagaimana jika aku tidak mau? Aku ingin menjadi gadis kecil yang dikepang rambutnya setiap pagi, sebelum jemputan mengklakson kencang di depan rumah.
            Bu, selama ini aku kira Ibu yang jahat, Ibu yang tidak peduli dengan anaknya, hanya ada di sinetron, karena aku memilki Ibu yang super baik yang selalu ada di rumah menemaniku sarapan sambil mengepang rambutku dan menyambutku dengan riang saat aku pulang dari sekolah, berbau matahari. Sekarang diriku yang sudah kuliah ini bertemu banyak orang dengan latar belakang berbeda Bu, dengan tipe Ibu yang berbeda, dan aku sadar bahwa Ibu-ibu yang ada di sinetron itu nyata. Aku mulai berpikir bahwa sinetron itu meniru realitas yang ada Bu, bukannya membentuk realitas baru. Ah, kenapa aku jadi membicarakan sinetron? Mata kuliah Pengantar Kajian Media mungkin telah mempengaruhi cara kerja otakku.
            Iya Ibu, aku tahu, aku mengerti Ibuku yang merupakan ibu rumah tangga tidak mengerti apa itu kelas Pengantar Kajian Media, Filsafat Komunikasi, atau Teori Komunikasi, yang Ibu mengerti adalah pelajaranku saat SD. Masih ingatkah Bu?
            Setiap ulangan semester aku meminta Ibu untuk menemaniku belajar, Ibu bertanya dan aku menjawab. Riang nian wajahku jika jawabanku benar, pertanda aku berhasil mengingat pelajaran yang akan diuji besok. Hal tersebut berlaku untuk pelajaran hapalan seperti IPA dan IPS. Lain lagi untuk pelajaran berhitung, Matematika.
            “Ting ting ting ting ting!” Lonceng kecil berbunyi, membuatku berlari bagai domba dipanggil sang penggembala. “Ting ting ting!” Iya Ibu aku sedang berlari menuju kesana. Bunyi lonceng adalah panggilan yang menandakan kertas-kertas putih sudah tidak kosong lagi. Kertas tersebut sudah penuh dengan soal-soal Matematika sesuai dengan bahan ulangan besok.
            Ibu adalah sosok setia yang membuatkanku berpuluh-puluh soal latihan Matematika agar aku bisa lancar mengerjakan ulangan besok. Ibu adalah pembunyi lonceng yang setia berperan memanggilku. “Ting ting ting ting ting!” bagaikan suara lembut Ibu yang memanggilku, memintaku belajar tanpa paksaan, tanpa tekanan.
            Saat ini aku sudah kuliah, tidak ada lagi bunyi lonceng yang memanggilku. Ulangan semester bertransisi menjadi ujian akhir semester yang berisi banyak teori, banyak konsep, dan banyak gagasan. Kertas putih akan tetap kosong, jika aku tidak menyentuhnya untuk membuat rangkuman sendiri. Tidak ada lagi tanganmu yang mengisi kekosongan kertas hvs dengan soal-soal singkat.

            Ibu, saat ini biarkan aku menjadi penerang dalam gelapmu. Sudah cukup waktumu menjadi pembunyi lonceng yang menuntunku menjalani tantangan hidup, ulangan di akhir semester. Ibu yang semakin tua di setiap tanggal 2 Desember. Anakmu yang beranjak dewasa menolak lupa lupa Bu, bahwa saat aku beranjak dewasa, Ibu pun menua. Maka Ibu, biarkan aku menjadi pembunyi loncengmu sekarang, dan selamanya.
Milikilah hati yang luas seluas langit biru. Di dalam hati yang luas kamu akan menampung rasa memaafkan yang besar, kekuatan untuk berpikir dan bertindak positif, serta semangat untuk menjelang hari esok yang tidak pernah pudar. Jadilah langit itu
-Seluas Langit Biru, Sitta Karina

Why?

Foto saya
Nabila Nur Sabrina. Bila. Ilmu Komunikasi UI 2013. Menulis karena memori otak tak bertahan selamanya.

Supportive Army

Minggu, 11 September 2016

Ternyata Aku Kangen Nulis #1

Memutuskan untuk menyebarkan tulisan-tulisan dulu yang cuma mengendap di laptop. Ini ditulis dulu, ditulis dengan otakku yang dulu, kalau ada yang salah-salah, dimaafin aja ya anggep aja lagi lebaran.

SURAT CINTA UNTUK IBU
Lonceng untuk Ibu


Bogor, 15 November 2014

            Assalamualaikum Wr. Wb
            Halo Ibu, apakah tepat jika aku mengucapkan selamat pagi? Atau lebih tepat selamat malam, selamat siang, atau selamat sore? Aku tak tahu Ibu. Aku percayakan suratku pada Pak Pos berbadan gembul yang terkejut ketika aku menuliskan alamat yang sama pada alamat penulis dan penerima surat. “Aneh banget kamu ngirim surat ke rumah sendiri!” Ujar Pak Pos seraya perutnya yang buncit bergoyang-goyang tak karuan.
            Ibu yang akan berulangtahun 2 Desember nanti. Apakah kau tahu bahwa saat aku kecil aku kesulitan membedakan 2 Desember dengan 22 Desember? Bagiku, keduanya adalah hari Ibu. Setiap tahun otakku berputar untuk mengingat tanggal ulangtahunmu. Aku takut salah memberi ucapan. Aku takut kelupaanku pada hari ulangtahunmu akan membuatmu tak menganggap aku sebagai anakmu lagi.
            Saat ini aku sudah beranjak dewasa Bu, aku sudah bisa membedakan 2 Desember dengan 22 Desember, umurku sudah 19 tahun. Ah, rasanya aku ingin melupakan angka itu! Tahun depan aku akan berkepala dua Bu, bagaimana jika aku tidak mau? Aku ingin menjadi gadis kecil yang dikepang rambutnya setiap pagi, sebelum jemputan mengklakson kencang di depan rumah.
            Bu, selama ini aku kira Ibu yang jahat, Ibu yang tidak peduli dengan anaknya, hanya ada di sinetron, karena aku memilki Ibu yang super baik yang selalu ada di rumah menemaniku sarapan sambil mengepang rambutku dan menyambutku dengan riang saat aku pulang dari sekolah, berbau matahari. Sekarang diriku yang sudah kuliah ini bertemu banyak orang dengan latar belakang berbeda Bu, dengan tipe Ibu yang berbeda, dan aku sadar bahwa Ibu-ibu yang ada di sinetron itu nyata. Aku mulai berpikir bahwa sinetron itu meniru realitas yang ada Bu, bukannya membentuk realitas baru. Ah, kenapa aku jadi membicarakan sinetron? Mata kuliah Pengantar Kajian Media mungkin telah mempengaruhi cara kerja otakku.
            Iya Ibu, aku tahu, aku mengerti Ibuku yang merupakan ibu rumah tangga tidak mengerti apa itu kelas Pengantar Kajian Media, Filsafat Komunikasi, atau Teori Komunikasi, yang Ibu mengerti adalah pelajaranku saat SD. Masih ingatkah Bu?
            Setiap ulangan semester aku meminta Ibu untuk menemaniku belajar, Ibu bertanya dan aku menjawab. Riang nian wajahku jika jawabanku benar, pertanda aku berhasil mengingat pelajaran yang akan diuji besok. Hal tersebut berlaku untuk pelajaran hapalan seperti IPA dan IPS. Lain lagi untuk pelajaran berhitung, Matematika.
            “Ting ting ting ting ting!” Lonceng kecil berbunyi, membuatku berlari bagai domba dipanggil sang penggembala. “Ting ting ting!” Iya Ibu aku sedang berlari menuju kesana. Bunyi lonceng adalah panggilan yang menandakan kertas-kertas putih sudah tidak kosong lagi. Kertas tersebut sudah penuh dengan soal-soal Matematika sesuai dengan bahan ulangan besok.
            Ibu adalah sosok setia yang membuatkanku berpuluh-puluh soal latihan Matematika agar aku bisa lancar mengerjakan ulangan besok. Ibu adalah pembunyi lonceng yang setia berperan memanggilku. “Ting ting ting ting ting!” bagaikan suara lembut Ibu yang memanggilku, memintaku belajar tanpa paksaan, tanpa tekanan.
            Saat ini aku sudah kuliah, tidak ada lagi bunyi lonceng yang memanggilku. Ulangan semester bertransisi menjadi ujian akhir semester yang berisi banyak teori, banyak konsep, dan banyak gagasan. Kertas putih akan tetap kosong, jika aku tidak menyentuhnya untuk membuat rangkuman sendiri. Tidak ada lagi tanganmu yang mengisi kekosongan kertas hvs dengan soal-soal singkat.

            Ibu, saat ini biarkan aku menjadi penerang dalam gelapmu. Sudah cukup waktumu menjadi pembunyi lonceng yang menuntunku menjalani tantangan hidup, ulangan di akhir semester. Ibu yang semakin tua di setiap tanggal 2 Desember. Anakmu yang beranjak dewasa menolak lupa lupa Bu, bahwa saat aku beranjak dewasa, Ibu pun menua. Maka Ibu, biarkan aku menjadi pembunyi loncengmu sekarang, dan selamanya.

Pages